Latest News

Kecerobohan Pansus UU No. 10 2008

5.21.2009 , Posted by Blogger Bata-Bata at 03.56


By: Achmad Mudatsir R*)

Sebelum sampai pada inti permasalahan, ada dua hal yang ingin saya sampaikan. Pertama, artikel ini tidak dimaksudkan untuk memperkeruh suasana menjelang Pemilihan Umum 2009. Kedua, artikel ini ditulis atas saran dari Prof. Jimly Asshiddiqie pada penulis pada kesempatan tanya-jawab di situs pribadinya (www.jimly.com) pada 19 Maret lalu. Beliau memandang penting hal ini diketahui oleh masyarakat.

Pada saat saya menulis artikel ini (20/03/08), pemilu tinggal 20 hari lagi. Banyaknya masalah logistik, sosialisasi, problem pengaturan jadwal kampanye, dan ancaman angka golongan putih terus membuat kita khawatir tentang pelaksanaannya pada 9 April nanti. “Kegaduhan” yang paling unik, eberapa hari yang lalu, pada judicial review (constitutional review) tentang masalah nomor urut suara terbanyak, ada selentingan pendapat yang menganggap perlu adanya payung hukum semacam undang-undang atau Perpu dalam meloloskan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.

Bahkan pada 17 Februari lau, menurut mantan wakil Ketua KPU, Ramlan Surbakti, Jika perppu tidak ada, KPU harus tetap menggunakan aturan lama, yaitu Pasal 214 UU No 10/2008, kata Ramlan. Namun pada akhirnya, ketua MK, Prof Mahfud MD menggelar konferensi pers dan menyatakan bahwa KPU harus mengikuti putusan MK sebagai putusan yang mengikat semua pihak, final, dan harus dipatuhi (erga omnes).

Penjelasan UU yang Terkesan Ceroboh
Dewan Perwakilan Rakyat mendapat kewenangan langsung dari Pasal 20 (1) konstitusi 2002 (UUD 1945 amandemen terakhir) untuk menyusun dan mengesahkannya bersama presiden. Kewenangan DPR ini lebih luas dari yang mereka punyai sebelum terjadi amandemen. Pasca-amandemen, walaupun Presiden tidak menyetujui RUU, dalam waktu 30 hari RUU tersebut resmi menjadi UU. Ini menjadikan presiden hanyalah sebagai co-legislator-nya DPR.

Pada 9 april, masing-masing dari kita adalah penentu proses ini ke depan. Kitalah yang menentukan siapakah yang menjadi Top 560 (top five hundred sixty) dari ribuan Calon Legislator (Caleg) yang akan duduk di kursi empuk DPR RI (yang kadang saking empuknya bikin ngantuk). Proses legislasi ini adalah salah satu yang menentukan perjalanan bangsa ini ke depan.

Ada sebuah hal menarik yang patut kita amati dalam Penjelasan UU Nomor 10 2008 yang mengatur tentang pelaksanaan Pemilihan Umum. Pada awal-awal Penjelasan Umum UU tersebut tertulis: “Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “kedaulatan rakyat berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

Lalu, pada alinea kedua ada tulisan: “Sesuai ketentuan Pasal 22E ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diselenggarakan berlandaskan azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.”

Jika kita melihatnya hanya sepintas, kayaknya tidak ada yang salah dalam Penjelasan tersebut. Akan tetapi, jika kita melihatnya secara cermat dan teliti, nampak ada “sesuatu yang besar dan sangat janggal” dalam Penjelasan tersebut.

Jika kita buka lagi konstitusi 2002 kita (UUD 1945), ajaran mengenai “kedaulatan rakyat” diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, dan bukannya di dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 yang mana pasal terbut hanyalah menjelaskan tentang komposisi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Selanjutnya, “kejanggalan” ini terlihat juga pada rujukan asas penyelenggaraan Pemilihan Umum yang menurut Penjelasan tersebut diatur pada Pasal 22E ayat (6), tapi pada hakikatnya dalam Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Pasal 22E ayat (6) hanya berbunyi: “Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”, dan hal ini sama sekali tidak berkaitan dengan azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

Penjelasan ini, agaknya susah dan sangat tidak mungkin jika dikatakan salah ketik, human error, atau semacamnya. Anda bisa langsung men-download langsung dari internet dan dari situs mana saja (salah satunya, klik di sini), dan apabila masih kurang meyakinkan, cobalah anda pergi ke toko buku terdekat yang menyediakan salinan Penjelasan Undang-Undang No.10 2008 tersebut. Jangan lupa anda membaca UU No.10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Tepatnya pada pasal 5 UU tersebut dinyatakan jelas bahwa sebuah peraturan perundamng-undangan harus memenuhi asas Pembuatan Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut: (1) kejelasan tujuan, (2) kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, (3) kesesuaian antara jenis dan materi muatan, (4) dapat dilaksanakan, (5) kedayagunaan dan kehasilgunaan, (6) kejelasan rumusan, dan yang terakhir adalah (7) keterbukaan. Artinya ialah, proses legal drafting melalui berbagai proses yang sangat panjang mulai dari perencanaan Penyusunan Undang-Undang sampai pada pembentukan peraturan perundang-undangan (Lihat Bab IV dan Bab V UU No.10 2004) .

Mungkin jika hanya sekedar salah satu kata, masih bisa ditolerir, namun yang sekarang terjadi adalah kesalahan dalam perujukan terhadap kostitusi sebagai norma hukum tertinggi (gerundgesetz) ditambah lagi kesalahan ini adalah dalam UU yang mengatur pemilihan anggota legislator itu sendiri. Yang patut dipersoalkan, apakah para legislator kita selama ini yang duduk di DPR Pusat telah mempunyai pemahaman yang baik terhadap isi Konstitusi 2002 (UUD 1945 amandemen terakhir).

Dalam menanggapi pertanyaan saya tentang implikasinya terhadap berlakunya UU No.10 2008 tersebut, Prof.Jimly Asshiddiqie -dalam forum tanya jawab dengan penulis- mengutarakan, beberapa hal (i) tergantung pengujiannya oleh MK sesuai prosedur yg berlaku, (ii) sebelum dinyatakan inkonstitusional UU yang bersangkutan tetap harus dianggap sudah benar & konstitusiopnal sehingga wajib dilaksanakan apa adanya, (iii) jika timbul masalah dalam praktik sbg akibat perumusan yg salah seperti demikian, maka pejabat pelaksana ataupun finalnya di tangan hakim di pengadilan, dapat dilakukan penafsiran sesuai dengan the framer’s intent dan original intent dari perumusan yg salah karena keteledoran itu.

Memang, upaya perbaikan dari berbagai jalur seperti lewat Perpu atau judicial review boleh-boleh saja dilakukan. Namun, apakah dengan senakin dekatnya penyelenggaraan Pemilu akankah perbaikan melalui jalur tersebut bisa dilakukan? Dan bagaimana pula apabila Mahkamah Konstitusi dalam judicial / constitutional review-nya menyatakan UU ini inkonstitusional. Meskipun secara yuridis, putusan MK tidak berlaku surut (non-retroaktif), namun apakah hal ini tidak akan mengkompori para Calon Legislator yang kalah dalam Pemilu? Semoga hal yang terbaik bagi bangsa ini terjadi.

Jangan Ulangi Kecerobohan Ini
Anda yang sudah dapat secara langsung melihat televisi, membaca koran, dan berinternet ria, dapat melihat langsung betapa banyak “penyakit” yang menhinggapi wakil rakyat kita yang terhormat. Mulai dari korupsi, skandal seks, sampai pada penyakit suka ngantuk pada waktu sidang. Alangkah naifnya jika sebuah proses pemilu yang memakan banyak dana, tenaga, dan pikiran hanya dijadikan sebagai proses untuk bersantai-ria sehingga timbul proses-proses legal drafting yang terkesan ceroboh.

Sekarang, yang pantas ditanyakan adalah akankah kecerobohan ini akan terulang? Pilihan anda sangat menentukan dalam menentukan jalan bangsa ini kedepan. Ingat, jangan pilih yang ceroboh.


*)Alumni PP. Mambaul Ulum Bata-Bata (Madura)
Sekarang sedang menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta

Currently have 1 komentar:

  1. Puteri-Embun says:

    kayaknya ini artikel pernah di posting di salah satu Blognya temen IMABA...

Leave a Reply

Posting Komentar